Menurut
penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli
Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad
sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di
masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana
dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami
pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.
Dalam
disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche
Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan
pertunjukan dan budaya asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang
inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan
demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita
kenal sekarang.
Ada
dua pendapat mengenai sejarah asal usul dari wayang kulit. Pendapat pertama, bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di
Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan
oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil
penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk
kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes,
Kats, Rentse, dan Kruyt.
Alasan
mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya
dengan keadaan sosial dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa.
Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk,
Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia. Tentu saja tokoh-tokoh tersebut
tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita Ramayana dan Mahabarata yang
berbahasa Sanskerta, karena tokoh tersebut merupakan asli ciptaan pujangga
Jawa. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari
bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain.
Dan
sementara itu pendapat kedua menduga
wayang berasal dari India, yang dibawa masuk bersama dengan agama Hindu ke
Indonesia lebih tepatnya pada saat pedagang India masuk ke Indonesia. Mereka
antara lain adalah Pischel, Hidding,
Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini
adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.
Namun
demikian, kejeniusan lokal dan kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu
menyatu dengan perkembangan seni pertunjukan yang masuk memberi warna
tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia. Sampai saat ini, catatan awal
yang bisa didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari Prasasti Balitung atau bisa disebut dengan Prasasti Mantyasih di Abad ke 4 yang berbunyi “sigaligi mawayang”. Prasasti
ini adalah peninggalan dari Kerajaan
Mataram Kuno.
Dan banyak yang
memperkirakan budaya wayang mulai lahir di Indonesia setidaknya pada zaman
pemerintahan Prabu Airlangga, Raja
Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang
makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis
oleh para pujangga Indonesia, sejak abad 10. Antara lain, naskah sastra Kitab
Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung (989-910), yang
merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India yaitu Walmiki, dalam
bahasa Inggris disebut Valmiki, adalah penulis kitab Ramayana.
Wayang
sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman
pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara
lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan “aringgit”
yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.
Kata
“wayang”
diduga berasal dari kata “wewayangan”, yang artinya bayangan.
Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang
menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan
wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan
gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu
pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang
terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain
dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.
Untuk
lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit
diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan
Mahabarata. Sejak saat itulah cerita-cerita Panji, yakni cerita tentang leluhur
raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang
lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang
Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama
Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para Raja
Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar